Tanpa terasa sudah setahun berlalu sejak menginjakkan kaki ke Swiss, sempat mandek nulis blog karena sibuk mungkin terdengar klise. Tapi lanjuuut aja dengan sedikit nyicil, ngikutin pepatah "lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali". Selamat membaca...
Senin, 16 September 2016
Lucerne
Perjalanan kereta kali ini cukup panjaaang, maklum lintas antar negara. Bertolak dari Milan menuju Lucerne via stasiun kecil Chiasso, perbatasannya Italy dan Swiss. Selepas Chiasso, mata langsung jarang berkedip karena dimanjakan dengan pemandangan alam yang menyegarkan di kedua sisi kereta. Swiss memang oke banget buat yang suka menghabiskan liburan dengan tenang dan jauh dari hiruk pikuk kota. Selain negaranya yang asri dan cantik, penduduknya juga ramah-ramah. Saat naik kereta saja ada seorang ibu penduduk asli yang tanpa ditanya menjelaskan tentang sebuah gereja yang bisa dinikmati hampir dari segala penjuru, dikarenakan jalur kereta yang memutari gereja tersebut. Sekilas info tersebut pun berlanjut ke obrolan-obrolan ringan sebagai pengisi waktu perjalanan kami. Tiba di Lucerne gerimis lagi-lagi menyambut, sepertinya cuaca sedang tidak bersahabat belakangan ini. Ditambah lagi untuk membeli tiket bis di mesin hanya menerima pecahan uang kecil. Oh iya, mata uang yang digunakan di sini adalah Swiss Franc (CHF) loh. Untungnyaaaa.... kemarin sudah sempat menukar koin-koin Rupiah dengan recehan berbagai negara di toples barteran koin Ostello Bello. Jadilah kami memilah-milah apakah ada recehan CHF dari dompet masing-masing, yang anehnya cukup untuk ongkos kami saat itu. Ketahuan kan pada ga pake malu2 ngembat recehan orang, lumayan modal gopek ceceng bisa dapat 0.5-2 Franc. Yahh, yang penting bisa sampai ke Luzern Youth Hostel, tempat berteduh malam ini.
Pemandangan negeri ini bagaikan berada di dunia mainan |
Para petugas yang berjaga di perbatasan Chiasso, kemarin sempat ada salah satu penumpang kereta yang digiring turun. |
Selasa, 17 September 2014
Lucerne
Setelah cukup beristirahat malam sebelumnya, sekarang saatnya untuk mengeluarkan senjata perang yaitu long john untuk menghadapi dinginnya salju di puncak Titlis (musuh banget sama yang namanya dingin, bayanginnya aja dah bikin begidik brr.....). Ga pake lama langsung antri paling depan buat sarapan, masih sereal dan roti. Berbekal tiket bis yang bisa dipakai sampai 24 jam ke depan sejak tiket diceklok pertama kali, berangkatlah kami ke stasiun. Sesampainya di stasiun langsung membeli tiket kereta menuju Engelberg, tempat Gunung Titlis berada. Karena ga mau repot, beli yang PP dengan waktu fleksibel seharga CHF 34.8 atau sekitar IDR 435.000 Tidak lupa mampir sebentar di Coop (model-model Indomaret-nya Swiss) untuk belanja cemilan dan bekal makan siang, karena banyak yang bilang beli makan di atas Titlis cukup mahal.
Menunggu kereta menuju Engelberg, buat yang kedinginan bisa menunggu di kubikel-kubikel kecil yang dilengkapi dengan penghangat |
Mata tetap segar dan melek sepanjang perjalanan walau sudah bangun pagi-pagi sekali, pemandangan di luar jendela sangat sayang untuk dilewatkan |
Engelberg
Mt.Titlis
Mt.Titlis
Setelah menempuh perjalanan sekitar satu jam yang tidak begitu terasa karena terlalu bersemangat buat lihat gunung bersalju (norak mode on), kereta yang kami tumpangi merapat ke stasiun Engelberg. Tepat di depan stasiun sudah disediakan bis gratis khusus menuju ke Titlis. Berhubung masih pagi antrian membeli tiket tidak begitu panjang, sayangnya cuaca yang tidak cerah mengakibatkan beberapa wahana ditutup karena faktor keamanan. Sedikit sayang sih karena tidak bisa memanfaatkan maksimal tiket terusan seharga CHF 86 tersebut. Tapi namanya sudah sampai di sana pasti tetap beli dan memilih menaiki gunung yang memiliki ketinggian 3.238 m tersebut (walau naiknya pake cable car). Ada 3 perhentian di Titlis, yang pertama adalah Gerschnialp pada ketinggian 1300 m. Dicapai dengan cable car kecil, buat yang hobi hiking atau bersepeda santai sambil menikmati hijaunya pepohonan bisa singgah di sini. Rinder Titlis di 2075 m. Klein Titlis atau puncak yang terbuka untuk umum di 3020 m, di sini terdapat gua glacier, restoran dan Titlis Cliff Walk. Di sini kita juga bisa menikmati pemandangan pegunungan dari sebuah jembatan yang kokoh, dengan catatan cuaca cerah ya. Hari itu sih sepanjang mata memandang hanya warna putih karena sedang badai salju ringan. Kalau soal dingin ga usah ditanya lagi, ampun-ampun dah buat makhluk tropis yang satu ini ditambah lagi dari dulu emang ga kuat sama yang namanya dingin. Ke Puncak Pass aja meringkuk kedinginan, apalagi ngadepin badai salju. Untungnya kali ini bisa bertahan sampai menyeberangi jembatan di puncaknya, ya iyalah sudah berbekal baju, celana dan kaus kaki berlapis dan yang paling utama adalah NIAT! (ga mau rugi juga sih hahaha)
Di sebelah kiri adalah satu wahana yang ditutup karena cuaca buruk, padahal pengen banget nyobain gimana rasanya duduk dengan kaki menjuntai di atas gunung salju. |
Sempat berpose sebentar di gua es, masih pakai pashmina buat menutup kepala dari hawa dingin. |
Entah kenapa liat menara yang satu ini langsung teringat film James Bond |
Inilah jembatan besi tempat kita bisa melihat pegunungan Alpen (seharusnya...hik3) |
Biar kata salju sudah mulai lebat tetap berpose dulu (buat yang jeli bisa liat akhirnya beli topi suvenir dari Titlis karena kedinginan, thanks Tius for the pic) |
Salah satu pendaki yang berhasil membawa nama Indonesia ke puncak Titlis |
Puas bermain-main di tengah hujan salju, saatnya kembali ke dalam untuk menghangatkan diri. Selain tangan dan kaki yang mulai beku, perut juga sudah berontak nagih makan siang. Sedikit note nih buat yang bawa bekal sendiri ga boleh ikutan makan di ruang food court, walau terkenal ramah penduduk Swiss tidak segan menegur orang yang melanggar peraturan. Tapi tenang, banyak tempat duduk kok di selasar. Bekal sudah berpindah ke perut yukkk turun dari puncak ke tujuan berikut, danau di pertengahan Titlis. Siap-siap takjub di sini, semua pemandangan yang sewaktu kecil cuma bisa dilihat di kartu-kartu Natal serasa muncul dalam wujud tiga dimensi. Tiga huruf buat deskripsiin apa yang kulihat saat itu "WOW", setidaknya kecewa karena tidak bisa melihat pegunungan Alpen bisa terobati sedikit di sini.
Danau yang diincar sejak di cable car sudah di depan mata, makin semangat buat meluncur ke sana |
Naik-naik ke puncak gunung, tinggi... Tinggi sekali. Kiri kanan kulihat saja, banyak pohon cemaraaa.... (Thanks Cecil for the pic) |
Mejeng sebentar di pondok tepi danau (Thanks Len for the pic) |
Cable car, sarana utama selama di Titlis |
Engelberg dari atas cable car, persis seperti kota mainan |
Hotel dan penginapan di kaki Gunung Titlis |
Tidak terasa tiba saatnya untuk kembali ke Lucerne, selesai menyantap Samosa isi kentang yang hangat di kaki Titlis kami segera menuju ke point shuttle menuju stasiun Engelberg. Perjalanan pulang lebih terasa singkat dari berangkat tadi pagi, karena letih membuat kami mengisinya dengan tidur di sepanjang perjalanan kereta. Setibanya di kota kami langsung menuju Chapel Bridge yang memang dekat dengan stasiun.
Papan petunjuk berapa lama lagi bis sampai di halte |
Lucerne
Kapellbrücke (Chapel Bridge)
Salah satu situs bersejarah di Lucerne yang sempat kami kunjungi adalah Kapellbrücke, sebuah jembatan tua kayu beratap yang sudah berdiri sejak tahun 1333 membentangi Sungai Reuss lengkap dengan sebuah menara di tengahnya. Menara tersebut sudah lebih dulu berdiri dan dikenal dengan nama Water Tower. Menara di tengah air yang terbuat dari batu-bata ini dulu berfungsi sebagai penjara dan tempat penyiksaan. Nama Chapel Bridge sendiri berasal karena lokasinya yang dekat dengan Kapel St.Peter. Chapel Bridge dibangun untuk melindungi kota Lucerne, sebagai penghubung kota tua dan baru. Sembari menyeberang kita juga bisa menikmati lukisan-lukisan dari abad ke-17 yang bercerita tentang sejarah Lucerne pada bagian penghubung atap bagian dalamnya. Sebagian besar lukisan berbentuk segitiga tersebut nyaris pudar termakan usia, tapi ada juga yang masih jelas karena hasil rekonstruksi akibat kebakaran di tahun 1993.
Chapel Bridge di kala senja |
Pemandangan dari atas jembatan, di sisi kanan adalah sekumpulan hotel dan restoran ternama |
Bagian dalam jembatan lengkap dengan lukisan segitiga-nya |
Masih di seputaran Kapellbrücke, berpapasan dengan pengamennya Swiss. Yang pasti kalau melihat penampilan mereka pasti langsung mengingatkan kita pada iklan Ricolaaaa.... (yang masih kenal iklan ini bisa ditebak deh kelahiran era kapan ^.^). Alat musik yang berupa terompet dengan panjang sampai menyentuh lantai ini disebut Alphorn atau Alpenhorn. Pada awalnya sering digunakan di daerah pegunungan sebagai alat komunikasi, tidak heran selama dimainkan gemanya bisa terdengar sampai ke seberang Chapel Bridge.
Kebayang capeknya niup alat musik yang satu ini |
Lambang ini tersebar di seluruh penjuru Lucerne, bahkan sampai ke dalam gereja |
Sebelum meninggalkan Lucerne ada beberapa kisah menarik seputar Swiss, tepatnya Lucerne. Selama berkeliling di kota ini ada lebih dari sekali kami ditolong penduduk lokal saat tersesat, dua di antaranya bahkan tanpa kami meminta. Mereka langsung menawarkan bantuan begitu saja ketika melihat tampang-tampang kebingungan kami di pinggir jalan "Can I help you?" Bahkan ada yang sampai menawarkan diri mengantarkan kami lewat jalan tikus (motong komplek rumahnya) karena searah. Iseng bertanya ternyata ia baru selesai fitness, tapi masih berjalan cukup jauh lagi ke rumahnya. Jadi bisa disimpulkan mereka rajin berjalan kaki, kebayang kan betapa manjanya kita di Indonesia. Tapi semua itu dimungkinkan karena udara di Swiss nyaris bebas polusi, kalau Indonesia seperti itu mungkin kita jadi rajin juga (alasan banget ya...). Fakta menarik berikutnya masih terkait dengan udara bersihnya Swiss, di tanda terima hostel kami ada rincian biaya CO2. Yang artinya kita sebagai turis asing dikenakan biaya tambahan atas CO2 yang kita keluarkan selama tinggal di sana. Oiya, kota Lucerne ini juga nyaris tidak ada kehidupan di malam hari. Jam delapan malam saja sudah seperti kota mati, mungkin karena hari kerja juga. Yak, kisah-kisah tersebut mengakhiri perjalanan kami di kota Lucerne, Swiss sampai ketemu di belated post berikutnya...